Makin hari malam makin terasa dingin dan sepi tanpa bisa dijelaskan apakah hanya kata hati atau memang cuaca telah berubah. Rembulan dan bintang pun enggan menampakkan cahayanya, bahkan burung hantu lebih memilih tetap tinggal di sarangnya menikmati hawa yang makin tak menentu.
Bola lampu telah ditemukan, dari yang 5 Watt seperti kunang-kunang menyala hingga yang seterang matahari namun entah mengapa tak bisa menerangi hati setiap manusia. Jalan makin gelap dan berliku seolah tak berujung. Makin jauh kita melangkah, makin banyak juga pelajaran yang kita dapatkan, namun mungkinkah kita memang benar-benar belajar....
Udara makin panas mengalir di paru-paru, seolah mau tak mau untuk beranjak meninggalkan alveoli. Andai bisa teriakkan pekik hati yang tak kunjung dapat tersuarakan. Kertas dan tinta yang senantiasa setia mengajak tangan menari mengungkap rahasia hati berubah menjadi musuh yang asing disentuh. Telinga-telinga mereka pun makin rapat-rapat tertutup sepuluh jemari penuh dosa yang tak mau mengaku. Jangankan ketika butuh, untuk kabar bahagia pun mereka senantiasa tertempel menutup kedua lubang penangkap suara itu. Kacau, tapi tak ada jalan untuk lari.
Bukan seperti kapal yang berlayar di lautan lepas yang dapat putar kemudi untuk berbalik arah, sekali lancung pantang untuk berbalik. Karena balik arah sama dengan putus asa tanpa rasa bersyukur. Biarlah panas mentari membakar semua kekecewaan dan kesalahan yang lalu dan mengubahnya menjadi air hujan yang menjadi berkah bagi semua.
Cemas, kecewa, marah, cemburu menjadi bahan bakar terdahsyat dalam hati. Dengan berwudhu dan berdzikir mengapa tak ditemukan lagi kedamaian untuk membasuh semua itu. Apa terlalu jauh jurang antara hati dengan Sang Khalik hingga mengingat namanya tak mampu membangkitkan lagi cinta yang sempat tertidur. Keinginan terdalam adalah Tuhan, nikmatnya sujud syukur atas rahmatMu, damainya hidup dalam dekapMu.
Makhluk indah itu berubah menjadi musuh dalam selimut. Manis yang terlalu manis harus berubah menjadi pahit. Seperti seimbangnya keberanian dan ketakutan, tawa dan tangis, bahagia dan kesedihan, kaya dan miskin, rupawan dan jelek, baik dan buruk mengalir membuktikan bahwa memang hidup itu selalu dua sisi berbeda. Ketika benci itu datang berarti menandakan pernah ada cinta, sayang dan kasih yang mengalir di dalam jiwa di hari yang lalu. Ketika sakit datang maka dapat mensyukuri sehat yang pernah dilimpahkan.
Tak selamanya nikmat akan bertahan dan terus bertambah. Berkurang dan berganti bukan karena Khalik tak lagi memberi cintanya, hanya insan yang tak tahu bagaimana menyikapinya.
Apakah setiap kemarahan itu harus ditunjukkan??? Apakah setiap sakit harus dikatakan?? Mengapa telinga dan hati manusia enggan mendengarkan suara selain dari mulut manusia?? Padahal dalam tutur kata itu menyimpan lebih banyak kebohongan.
Persetan dengan semua rintihan mereka jika mereka sendiri tak mampu mengetahui apa yang mereka inginkan, apa yang menyebabkan mereka bilang 'sakit' namun telah meminta orang lain untuk menolongnya. Buka pikiran dan mata hati, hanya dirilah yang mampu memberi pertolongan pertama pada jiwa kita yang telah haus dan kering.
Bola lampu telah ditemukan, dari yang 5 Watt seperti kunang-kunang menyala hingga yang seterang matahari namun entah mengapa tak bisa menerangi hati setiap manusia. Jalan makin gelap dan berliku seolah tak berujung. Makin jauh kita melangkah, makin banyak juga pelajaran yang kita dapatkan, namun mungkinkah kita memang benar-benar belajar....
Udara makin panas mengalir di paru-paru, seolah mau tak mau untuk beranjak meninggalkan alveoli. Andai bisa teriakkan pekik hati yang tak kunjung dapat tersuarakan. Kertas dan tinta yang senantiasa setia mengajak tangan menari mengungkap rahasia hati berubah menjadi musuh yang asing disentuh. Telinga-telinga mereka pun makin rapat-rapat tertutup sepuluh jemari penuh dosa yang tak mau mengaku. Jangankan ketika butuh, untuk kabar bahagia pun mereka senantiasa tertempel menutup kedua lubang penangkap suara itu. Kacau, tapi tak ada jalan untuk lari.
Bukan seperti kapal yang berlayar di lautan lepas yang dapat putar kemudi untuk berbalik arah, sekali lancung pantang untuk berbalik. Karena balik arah sama dengan putus asa tanpa rasa bersyukur. Biarlah panas mentari membakar semua kekecewaan dan kesalahan yang lalu dan mengubahnya menjadi air hujan yang menjadi berkah bagi semua.
Cemas, kecewa, marah, cemburu menjadi bahan bakar terdahsyat dalam hati. Dengan berwudhu dan berdzikir mengapa tak ditemukan lagi kedamaian untuk membasuh semua itu. Apa terlalu jauh jurang antara hati dengan Sang Khalik hingga mengingat namanya tak mampu membangkitkan lagi cinta yang sempat tertidur. Keinginan terdalam adalah Tuhan, nikmatnya sujud syukur atas rahmatMu, damainya hidup dalam dekapMu.
Makhluk indah itu berubah menjadi musuh dalam selimut. Manis yang terlalu manis harus berubah menjadi pahit. Seperti seimbangnya keberanian dan ketakutan, tawa dan tangis, bahagia dan kesedihan, kaya dan miskin, rupawan dan jelek, baik dan buruk mengalir membuktikan bahwa memang hidup itu selalu dua sisi berbeda. Ketika benci itu datang berarti menandakan pernah ada cinta, sayang dan kasih yang mengalir di dalam jiwa di hari yang lalu. Ketika sakit datang maka dapat mensyukuri sehat yang pernah dilimpahkan.
Tak selamanya nikmat akan bertahan dan terus bertambah. Berkurang dan berganti bukan karena Khalik tak lagi memberi cintanya, hanya insan yang tak tahu bagaimana menyikapinya.
Apakah setiap kemarahan itu harus ditunjukkan??? Apakah setiap sakit harus dikatakan?? Mengapa telinga dan hati manusia enggan mendengarkan suara selain dari mulut manusia?? Padahal dalam tutur kata itu menyimpan lebih banyak kebohongan.
Persetan dengan semua rintihan mereka jika mereka sendiri tak mampu mengetahui apa yang mereka inginkan, apa yang menyebabkan mereka bilang 'sakit' namun telah meminta orang lain untuk menolongnya. Buka pikiran dan mata hati, hanya dirilah yang mampu memberi pertolongan pertama pada jiwa kita yang telah haus dan kering.
19.55
my blog

